Selamat datang di Blog saya.
Senin, 04 November 2019
Sabtu, 21 Januari 2017
cerpen "Dear Tio"
“Dear Tio”
Karya : Nuraini
Siang yang terik
membakar tubuh dengan aliran keringat berjatuhan dibagian pelipis, gerakan demi
gerakan sudah dilalui. Ekstrakurikuler PASKIBRA siang ini sedang latihan untuk
mengikuti perlombaan LKBB tingkat Kabuaten Bogor, mengingat sejarah sekolah
kami selalu menjuarai perlombaan maka kami harus mempertahankan gelar tersebut
demi mengharumkan nama sekolah. Lapangan sekolah hanya terdengar derap langkah
pasukan PASKIBRA “bruk...bruk...bruk..” tak
heran kalau sepatu kami mengalami kerusakan dan jebol dengan cepat, membuat
orangtua harus menyiapkan cadangan keuangan untuk membelikan anaknya sepatu
baru.
“Aini! Kamu Fokus!
Gerakan kamu tadi salah.” Kang Adjie berteriak marah padaku dan disusul tatapan
dingin dari teman-teman. Gerakan langkah kakiku berbeda tempo membuat gerakan
formasi kami berantakan, bayangkan 18 orang dalam 1 pasukan dengan kepribadian
yang berbeda dituntut untuk menyatukan kekompakan dan keserasian yang sangat
berpengaruh terhadap gerakan. Jadi, jika
ada satu orang yang salah dalam gerakan maka akan berdampak buruk pada
kesulurahan gerakan.
“Gerakan formasi itu
jangan hanya sekadar gerak, tapi dirasakan dan dihayati.”
Aku mendengus
menyesali kesalahanku, membuat konsentrasiku kacau balau.
“Coba sekali lagi!”
Tanganku mulai
mengepal dengan tatapan fokus satu titik. Kali ini aku harus mulai
berkonsentarsi penuh.
“Ya, Bagus! Kita
istirahat sebentar sampai salat asar. Setelah itu latihan kembali.”
“Iya, Kang!” Kami
berteriak girang, akhirnya istirahat juga. Aku merebahkan diri dipinggir
lapangan di bawah pohon ceri siang yang begitu menyengat membuat keringat
berjatuhan.
Usai salat asar
latihan dimulai kembali. Aku sudah meyakinkan diri bahwa tidak akan ada
kesalahan dalam gerakanku. Wasky telah memberi aba-aba, pasukan sudah membentuk
formasi angka 4, gerakanku mantap dan begitu yakin. Kulihat sekeliling, banyak
siswa hilir-mudik di tepi lapangan bergegas untuk pulang. Salah seorang
memandangiku, menatap lurus ke arahku, tidak mengalihkan tatapan walau telah
kubalas tatapannya. Dia tidak tampan, kulit sawo matang, rambut hitam ikal tak
beraturan. Masih memandangiku dengan ekspresi wajah yang tidak kumengerti. Orang aneh, ucapku dalam hati. Aku merasa tertubruk sesuatu, membuat aku
tersentak kaget dan kehilangan keseimbangan, membuat tubuhku terhuyung ke depan
dan jatuh terjerembap di lapangan aspal yang keras, sakit. Insiden jatuhnya
saat latihan paskibra membuat luka ringan di kedua telapak tangan dan lutut. Latihan
paskibra telah usai, aku mengemasi barang-barang dan bersiap untuk pulang.
Senin pagi yang
cerah, upacara adalah kegiatan wajib untuk diikuti bagi seluruh siswa. Sebagai
anak PASKIBRA, aku bertugas menjadi pengibar bendera. Aku memperhatikan
sekeliling, mencari laki-laki itu, namun nihil. Aku tidak menemukan
keberadaannya. Untuk apa aku mencarinya?
Hiks. Ucapku dalam hati. Upacara dimulai.
Di perpus masih terasa sepi, mungkin ini
tempat yang jarang dikunjungi oleh siswa. Yaa. Jarang sekali siswa menyempatkan
waktu untuk datang ke perpustakaan. Mulai fokus membaca buku yang ku pegang.
“sudah sampai mana
baca buku kimianya?” suara itu membuat aku hampir meloncat saking kagetnya.
“B-baru sampai
sini” aku bermaksud mengucapkan
perkataan marah kepadanya karena membuat aku kaget, tetapi yang keluar malah
jawaban sopan.
“Oh.. kalau saya
sudah sampai sini” membuka lembaran demi lembaran buku jauh sekali dari halaman
buku yang sudah kubaca.
Siapa pula yang nanya,
menggerutu dalam hati.
“Yasudah, saya pergi dulu.” Katanya lagi
sebelum beranjak pergi.
eh..
tunggu. Itu bukannya yang kemarin? Sambil mengingat-ngingat. IYAA BENAR!! Refleks
kedua tanganku menutup mulut. Tanpa sadar aku mengucapkan dengan nada keras
membuat orang-orang disekitar menoleh ke arahku. Seketika pipiku memerah karena
malu. Beruntung orang itu sudah pergi, jadi dia tidak tahu apa yang terjadi.
Aku buru-buru membereskan buku-buku lantas segera meninggalkan perpustakaan, bukan karena
selesai membaca buku, tapi malu apa yang
aku lakukan barusan.
“Mpok? Gue
cari-cariin kemane aje lo?” Selvi mencegat langkah kakiku. Mpok panggilan khusus untuk kami berdua
sebagai sahabat itu untuk pembeda diantara panggilan yang lain.
“Ah? abis dari
perpus. Ng- yaudah ke kantin yuk.” Dengan bertemunya Selvi, aku bisa sedikit
melupakan kejadian tadi.
“Woy mpok, ngelamun
aje lo! Denger nggak yang gue omongin tadi?” aku tersentak kaget merasakan bahu
yang dipukul keras oleh Selvi.
“Ih! Biasa aja dong,
kaget tau. Iya iya denger, ngomongin selebgram (selebrtitis instagram) Ari
Irham itu kan?” mengusap-usap bahu yang dipukul Selvi.
Tepuk jidat “Ya Allah mpoook! Gue ga lagi
ngomongin itu. Oke, sekarang lo ada masalah apa?”
“Ng-ngga ada masalah
ko, Cuma lagi ga fokus aja.” Mpok ga
boleh tau soal ini.. mengenai laki-laki aneh itu.
Tiba-tiba laki-laki
itu datang dan berkumpul bersama teman-temannya. “Ah.. ngapain sih dia disinii.”
Keberadaannya
membuatku jadi salah tingkah dan bingung harus berbuat apa.
“Siapa? Tio?” Selvi bertanya spontan sambil
menyeruput es teh manis.
“Eh, bukan siapa-siapa. Tapi bentar, siapa
namanya? Tio?”
“Iya Tio, yang rambut ikal ga beraturan itukan?
Diakan temen satu sekolah gue di SMP. Orangnya pinter banget. Jago eksaknya,
pokoknya dia pinter banget ga ada yang nandingin deeh tapi sayang banget
penampilannya ga menarik.” Memajukan bibir, ekspresi Selvi bagai mendapatkan
kenyataan pahit.
“Oh, gitu. Yaudah aku
cabut duluan yaa. Ada latihan paskibra dadakan sekarang. Daaahh..” buru-buru
mengakhiri pembicaraan yang tidak penting ini.
Menjelang hari
perlombaan, pasukan paskibra kami menambah jadwal latihan usai istirahat.
Latihan sudah semakin mantap dan begitu
yakin, tidak ada satu kesalahan dalam gerakan kami. Kang Adjie terlihat
tersenyum bangga atas latihan kami. Latihan paskibra telah usai, seperti biasa
aku merebahkan diri dipinggir lapangan tepat di bawah pohon ceri. Wajah merah
bak ayam goreng yang baru diangkat dari penggorengan. Aku tersentak kaget dan
langsung terduduk ketika seseorang menempelkan botol air mineral dingin di
pipiku.
“Nih, Minum!” menaruh
botol air mineral di sampingku lalu pergi begitu saja.
“T-tunggu!” memanggil
begitu saja tanpa memikirkan apa yang harus aku katakan saat dia menoleh Bodoh! Harusnya aku biarkan saja ia pergi. Merapikan
rambut lalu bersiap untuk memulai percakapan.
“Maaf, waktu saya ga
banyak. Ada apa?” Menunjukkan jam tangan yang melingkar dipergelangan tangan
kirinya.
Ergh! Sok sibuk banget sih ini cowok, tau gitu males
banget aku panggil. Memajukan bibir dan berkomat-kamit.
“Kok, diem? Saya
sudah bilaang...” Mengetuk-ngetuk jam tangan dengan jari telunjuknya.
Memotong pembicaraan “Maksudnya
apa ini?” menunjukkan botol air mineral dingin yang aku pegang.
“Waktu saya ga
banyak, Oh itu. Tadi temen saya nitip air mineral ternyata dia udah beli, terus
pas saya mau ke toilet saya liat kamu lagi tidur di lapangan, mungkin kamu
lebih membutuhkan air mineral ini. Yasudah saya kasih ke kamu.” Melirik jam.
APA??!! Ternyata dia ga niat dari awal buat kasih minum
ini? Eh, bentar tidur di lapangan? Wanita macam apa aku ini, sembarangan tidur
aku ga tidur! Aku Cuma rebahan. Memang kau pikir aku tuna wisma?
Meremas jemari, sabar Aini! Sabar! Suara
hatiku berteriak menyemangati. Namun, bukan kata-kata pedas yang aku lontarkan
kepadanya yang keluar malah “Oh begitu, terima kasih.” Berusaha senyum,
berharap ia tidak menyadari bahwa itu senyuman palsu yang dipaksakan. Tidak ada
ucapan selamat tinggal, ia pergi begitu saja. Mengapa aku sekesal ini? Jelaslah! Ia datang memberikan air mineral
dingin tanpa alasan, setelah aku tau alasannya. Aku malah makin kesal, ternyata
memang tidak ada niat khusus untuk memberi air mineral ini. Yasudahlah, mungkin
dengan minum rasa kesalku hilang.
Jam pelajaran
keempat, kimia. Bu Riska tidak masuk karena sedang sakit. Kabar mengenai guru
tidak masuk sontak membuat ramai kelas. Tak peduli, alasan apa yang membuat
guru tidak masuk, yang penting tidak ada
kegiatan belajar mengajar selama 2 jam kedepan. Bahagia tak terkira, aku
merasakan euforia bak sedang mengikuti karnaval tahunan sekolah. Aku memperhatikan
sekitar, tak ada yang memasang wajah suram karena ketidak hadiran guru. Firman
orang terpintar di kelas, ia juga memasang wajah bahagia, mungkin ada waktu 2
jam dalam seharinya bisa terbebas dari buku-buku pelajaran. Aku yang sejatinya
sama seperti mereka amat bahagia mendengar kabar itu, namun aku menyadari
ketertinggalan materi pelajaran, bukan hanya kimia saja namun keseluruhan
pelajaran karena fokus dengan latihan paskibra selama sebulan ini, akhirnya aku
memutuskan untuk ke perpustakaan membaca buku-buku, Selvi tidak ikut karena
sedang asyik selfie untuk stock Display
Picture di bbm atau posting di akun instagram.
Halaman demi halaman
sudah kubaca dan kupahami kertas penuh dengan coretan-coretan rumus untuk
mencari jawaban, namun tetap saja jika mengerjakan soal-soal tidak mudah untuk
di selesaikan.
“Lagi ngerjain apa?”
seseorang duduk disampingku.
Aku menoleh, aku
tidak menyadari keberadaannya sudah berapa lama dia disitu. Apa dia
memperhatikan ekspresi kesulitanku dalam menyelesaikan soal-soal ini? “Ini lagi
ngerjain soal kimia.” Menunjuk soal yang aku kerjakan.
“Oh ini? Ini sih
gampang. Sini biar aku bantu.” Mengambil buku dan pulpen dari tanganku tanpa
permisi.
Ergh.. sombong banget sih. Siapa pula yang mau minta
diajari sama orang sombong! Seketika kesal melanda
dijiwaku.
“Aini! Kamu merhatiin
ngga?”
“I-iya merhatiin ko,
oia bentar ko kamu tau nama aku?”
“itu..” menunjuk nametag bertuliskan AINI yang terpasang
dibaju seragamku.
Argh! Bodoh banget sih, Ni. Mukaku
memerah ingin sekali rasanya tiba-tiba menghilang dari dunia ini.
“Saya, Tio. Kamu
kalau kesulitan apa-apa saya bisa bantu kamu. Sama seperti sekarang, saya bisa
bantu menyelesaikan soal-soal kimia semudah ini.” Melirik jam, lalu pergi
begitu saja seperti biasa tanpa pamit.
Eeerrrgh... sombong banget sih!
Mengacak-acak rambut.
Bel pulangpun
berbunyi, saatnya aku dan siswa yang lain bersiap untuk pulang. Terdengar suara
motor dari arah belakang, lalu berhenti disampingku.
“Mau bareng?”
Aku melirik acuh “Ga,
makasih.”
“Yakin? Saya orang
sibuk loh, nanti kalau....
“EMANG SAYA
PEDULI!!... buru-buru aku menutup mulut merasa apa yang aku ucapkan barusan
sangat menyakiti hati Tio lantas aku berlari menjauh. Astaga! Apa yang telah aku ucapkan barusan? Menunduk dan Duduk di salah satu kursi sambil
menunggu angkutan umum.
Motor Tio pun
terdengar, aku langsung berdiri gugup dengan rasa bersalah. Bersiap dengan apa
yang terjadi. Motor Tio lewat begitu saja, tidak ada ekspresi apapun dibalik
helm berkaca putih, hanya tatapan lurus nan dingin. Ekspresi Tio selama ini
memang tidakku mengerti, namun ekspresi kali ini aku begitu yakin betapa
kecewanya Tio terhadap kalimat apa yang aku lontarkan barusan. Namun aku
keliru, motor Tio berbalik arah dan berhenti tepat didepanku.
“Ayo, naik!” tatapan
tetap lurus kedepan tanpa menoleh sedikitpun. Aku bingung harus menolak atau
menurut. Mungkin dengan cara aku menuruti, aku bisa menghilangkan sedikit rasa
kecewa Tio.
“Duduknya terserah,
mau miring/ke depan. Ayo, buruan! Waktu saya ga banyak!” seperti membaca
pikiranku yang sedikit bingung untuk posisi duduk. Aku sudah duduk tepat di jok
belakang, motor Tio langsung melesat dijalanan dengan kecepatan penuh, jalanan
tidak terlalu ramai membuat motor Tio lincah menyelusuri jalan. Sesaat, aku
lupa tidak bertanya arah tujuan. Ingin bertanya namun urung, Tio mengendarai
motor dengan kecepatan penuh membuat suara bising dari knalpot motor. Jalanan
mulai sepi, jantungku mulai berdegup kencang mulai berpikir akan ada sesuatu
yang mengancam diriku. Aku sudah bersiap untuk berteriak sekuat tenaga, jika
sewaktu-waktu Tio ingin menjahiliku. motor Tio berhenti di depan taman yang
sangat indah, taman ini terlihat sepi namun aku tidak khawatir karena taman ini
tepat ditengah-tengah kawasan peerumahan elit, jadi pasti banyak pengamanan
seperti satpam, atau cctv disetiap lokasi. Membuat aku sedikit bernafas lega.
Tio memulai bicara
“Saya suka kamu.”
Aku menoleh kaget, membuat sekujur tubuhku kaku
tidak bisa digerakan sedikitpun.
“aku mau pulang.”
Jawaban spontan yang keluar dari bibirku untuk melupakan apa yang Tio katakan.
“tapi, kitakan baru
sam...”
“pokoknya aku mau
pulang! Kalau kamu ga mau pulang,
yasudah saya bisa sendiri.” Membentak. Kali ini, aku benar-benar kesal dan
marah dengan perkataan Tio barusan.
“Eh.. tunggu! Iya
sebentar saya nyalain motor dulu.”
Esoknya dikantin. Aku
nampak tidak semangat, ucapan Tio masih terngiang-ngiang dikepalaku. Apa yang
harus aku katakan? Mengapa aku marah padanya? Hmmm..
“Lo kenapa, mpok?”
Selvi mengaburkan lamunanku.
“Ng-Ngga apa-apa.”
Cepat-cepat menghabiskan bakso yang sudah dingin.
“Hm? Cerita!” Selvi
mendesak. Dia tidak ingin sahabat sejatinya memiliki masalah.
“Swear! Ngga ada apa-apa!” aku tetap tidak menginginkan Selvi
mengetahui apa yang aku alami.
“Oh- jadi gitu
sekarang sama gue? Main rahasia-rahasiaan ya? Ga asyik lo sekarang, Ni!”
beranjak dari tepat duduknya dan mulai melangkah pergi.
Aku mencegahnya
dengan menarik lengan kanan Selvi “Eh... ga gitu!”
“kalau ga gitu, terus
apa?” melepaskan pegangan tanganku.
“I-iya, tapi mpok
jangan marah dong.” Berusaha kembali menarik lengan Selvi, dan berusaha
mencairkan suasana.
“yaudah, lu kenapa?
Gue nanya gini karna gue care sama
lu, mpok.” Kembali duduk. Sejatinya Selvi memang tidak betul-betul marah, dia
hanya ingin aku bersikap terbuka dengan masalah yang aku alami.
“Hmm.. anu...ng..
T-t.. “ aku berusaha santai untuk menjelaskannya, namun tetap saja aku merasa
kaku dan bingung harus mulai dari mana.
“T?” mengulang
omonganku tanda menunggu kata selanjutnya.
“Eng.. eh ..
maksudnya T... I..” aku menarik nafas dalam-dalam agar lebih rileks saat
menjelaskan kepada Selvi.
“T.. I.. terus? Lu
ngomong yang bener dong, mpok! Kayak gue lagi ngajar baca anak PAUD.” Selvi
merasa gemas dengan omonganku yang terbata-bata ini.
“TIO NEMBAK GUEE!”
aku menutup mata bersiap dengan segala reaksi dari Selvi yang mungkin bisa saja
mencubit pipiku atas apa yang aku katakan barusan.
“Whaaaaaaat?!! Serius
lu, mpok? T-I-O yang dulu pernah gue ceritain itu? Gue ga salah dengeer?” Namun
tebakanku salah, mungkin sangking kagetnya Selvi bingung harus bereaksi apa.
Jadi dia hanya sedikit meninggikan suaranya.
“Hmm..” aku hanya
mengangguk tanda “iya” atas pertanyaan Selvi.
“Astagaa!! T-I-O?”
mengulangi pertanyaan, untuk meyakinkan kebenarannya. Mungkin dikhawatirkan
Selvi salah dengar.
“udah jangan
kenceng-kenceng, nanti yang lain denger!” berusaha menenangkan Selvi yang bisa
saja meledak seperti bom karena sangking kagetnya.
“Sorry.. keceplosan. Kaget gue, Ni. Ko bisa?” aku menceritakan
kejadian yang sebenarnya dari awal sampai akhir mengenai TIO, Selvi bener-bener
kaget setengah matang. Ekspresi Selvi bener-bener mengerikan mata sipit yang
mendadak bundar seperti ingin copot dari tempat asalnya, kalau aku foto dan
dimasukin ke Instagram pasti dia juga gabakalan nyadar. Sebegitu kagetnya kah
selvi dengan kabar Tio menyatakan perasaannya ke aku?
“Gue harap lo ga
balik suka sama dia.” Tatapan menyelidik.
“Loh? Memangnya?”
balik menyelidik.
“Memangnya? Ooh jadi
loe beneran suka sama T...” kembali meninggikan suara khasnya.
“pssssst.... jangan
keras-keras! Gak! aku ga suka sama dia! Mpok taukan, selera cowok aku gimana?
Ga seperti Tio” membalas dengan muka sebal.
“hmm.. bagus! Berarti
loe masih normal.” Melipatkan tangan.
Ternyata Tio lewat
dengan tatapan acuh.
“T-Tio??” ucapku,
kaget. Apa Tio mendengar kalimat yang aku katakan? Oh Tuhan!! Menepuk jidat.
“So What? Lo kan ga suka sama dia. Ya biarin aja, biar ga ngarep
terlalu tinggi. Loe tuh cantik banget masa dapet cowok model Tio? Helllowww..”
mengibaskan rambutnya.
Buru-buru aku pergi
mencari Tio dan meninggalkan Selvi yang berteriak-teriak karena ditinggal
membuat orang-orang disekitar merasa terganggu.
Dari arah jauh, aku
melihat Tio bersama teman-temannya. Aku melihat Tio melirik ku dengan tatapan
dingin. Tidak ada senyuman yang menghiasi rawut wajahnya. Setelah kejadian di
kantin barusan, Tio jadi menghindar dari ku. Setiap berjalan dari arah
berlawanan Tio selalu menyadari keberadaanku dan dia langsung memutar arah
untuk menghindari kontak mata denganku. Sungguh, aku tidak menyukai hal ini.
Tio memang tidak tampan, tapi dia berbeda ntah apa yang berbeda, aku bingung
dan aku belum menemukan jawabannya.
Kali ini, aku
berusaha mencari Tio di perpustakaan, kantin, kelas. Tapi aku tidak
menemukannya, dimana dia? Ketika aku berjalan kembali ke kelas, aku mendapati
dirinya di taman. baru saja aku ingin mendekatinya namun urung, Tio tengah
bersama seorang wanita kelas X aku melihat badge nya. Segera aku berbalik,
tidak mau berlama-lama di tempat itu. Air mata yang sejak tadi ditahan kini
menetes ke pipi, membuat wajahku terasa panas. Mataku berkabut, tertutup
lapisan bening dari air mata yang terus-menerus berkumpul dikelopak mataku. Apa mungkin aku menyukainya?
Kamis, 19 Januari 2017
HIDUP SEHAT
Hidup sehat berawal dari lingkungan yang sehat, masyarakat yang sehat, dan keluarga yang sehat.
Untuk itu jagalah kesehatan mulai sekarang. Ada slogan yang mengatakan bahwa sehat itu mahal harganya.
Mulailah mengonsumsi makanan yang bergizi kaya akan vitamin seperti sayur dan buah-buahan.
Untuk itu jagalah kesehatan mulai sekarang. Ada slogan yang mengatakan bahwa sehat itu mahal harganya.
Mulailah mengonsumsi makanan yang bergizi kaya akan vitamin seperti sayur dan buah-buahan.
Langganan:
Postingan (Atom)