Sabtu, 21 Januari 2017

hahahaah

cerpen "Dear Tio"



“Dear Tio”
Karya  : Nuraini
Siang yang terik membakar tubuh dengan aliran keringat berjatuhan dibagian pelipis, gerakan demi gerakan sudah dilalui. Ekstrakurikuler PASKIBRA siang ini sedang latihan untuk mengikuti perlombaan LKBB tingkat Kabuaten Bogor, mengingat sejarah sekolah kami selalu menjuarai perlombaan maka kami harus mempertahankan gelar tersebut demi mengharumkan nama sekolah. Lapangan sekolah hanya terdengar derap langkah pasukan PASKIBRA “bruk...bruk...bruk..” tak heran kalau sepatu kami mengalami kerusakan dan jebol dengan cepat, membuat orangtua harus menyiapkan cadangan keuangan untuk membelikan anaknya sepatu baru.
“Aini! Kamu Fokus! Gerakan kamu tadi salah.” Kang Adjie berteriak marah padaku dan disusul tatapan dingin dari teman-teman. Gerakan langkah kakiku berbeda tempo membuat gerakan formasi kami berantakan, bayangkan 18 orang dalam 1 pasukan dengan kepribadian yang berbeda dituntut untuk menyatukan kekompakan dan keserasian yang sangat berpengaruh terhadap gerakan.  Jadi, jika ada satu orang yang salah dalam gerakan maka akan berdampak buruk pada kesulurahan gerakan.
“Gerakan formasi itu jangan hanya sekadar gerak, tapi dirasakan dan dihayati.”
Aku mendengus menyesali kesalahanku, membuat konsentrasiku kacau balau.
“Coba sekali lagi!”
Tanganku mulai mengepal dengan tatapan fokus satu titik. Kali ini aku harus mulai berkonsentarsi penuh.
“Ya, Bagus! Kita istirahat sebentar sampai salat asar. Setelah itu latihan kembali.”
“Iya, Kang!” Kami berteriak girang, akhirnya istirahat juga. Aku merebahkan diri dipinggir lapangan di bawah pohon ceri siang yang begitu menyengat membuat keringat berjatuhan.
Usai salat asar latihan dimulai kembali. Aku sudah meyakinkan diri bahwa tidak akan ada kesalahan dalam gerakanku. Wasky telah memberi aba-aba, pasukan sudah membentuk formasi angka 4, gerakanku mantap dan begitu yakin. Kulihat sekeliling, banyak siswa hilir-mudik di tepi lapangan bergegas untuk pulang. Salah seorang memandangiku, menatap lurus ke arahku, tidak mengalihkan tatapan walau telah kubalas tatapannya. Dia tidak tampan, kulit sawo matang, rambut hitam ikal tak beraturan. Masih memandangiku dengan ekspresi wajah yang tidak kumengerti. Orang aneh, ucapku dalam hati.  Aku merasa tertubruk sesuatu, membuat aku tersentak kaget dan kehilangan keseimbangan, membuat tubuhku terhuyung ke depan dan jatuh terjerembap di lapangan aspal yang keras, sakit. Insiden jatuhnya saat latihan paskibra membuat luka ringan di kedua telapak tangan dan lutut. Latihan paskibra telah usai, aku mengemasi barang-barang dan bersiap untuk pulang.
Senin pagi yang cerah, upacara adalah kegiatan wajib untuk diikuti bagi seluruh siswa. Sebagai anak PASKIBRA, aku bertugas menjadi pengibar bendera. Aku memperhatikan sekeliling, mencari laki-laki itu, namun nihil. Aku tidak menemukan keberadaannya. Untuk apa aku mencarinya? Hiks. Ucapku dalam hati. Upacara dimulai.
 Di perpus masih terasa sepi, mungkin ini tempat yang jarang dikunjungi oleh siswa. Yaa. Jarang sekali siswa menyempatkan waktu untuk datang ke perpustakaan. Mulai fokus membaca buku yang ku pegang.
“sudah sampai mana baca buku kimianya?” suara itu membuat aku hampir meloncat saking kagetnya.
“B-baru sampai sini”  aku bermaksud mengucapkan perkataan marah kepadanya karena membuat aku kaget, tetapi yang keluar malah jawaban sopan.
“Oh.. kalau saya sudah sampai sini” membuka lembaran demi lembaran buku jauh sekali dari halaman buku yang sudah kubaca.
Siapa pula yang nanya, menggerutu dalam hati.
 “Yasudah, saya pergi dulu.” Katanya lagi sebelum beranjak pergi.
 eh.. tunggu. Itu bukannya yang kemarin? Sambil mengingat-ngingat. IYAA BENAR!! Refleks kedua tanganku menutup mulut. Tanpa sadar aku mengucapkan dengan nada keras membuat orang-orang disekitar menoleh ke arahku. Seketika pipiku memerah karena malu. Beruntung orang itu sudah pergi, jadi dia tidak tahu apa yang terjadi. Aku buru-buru membereskan buku-buku lantas  segera meninggalkan perpustakaan, bukan karena selesai membaca buku, tapi malu apa  yang aku lakukan barusan.  
“Mpok? Gue cari-cariin  kemane aje  lo?” Selvi mencegat langkah kakiku. Mpok panggilan khusus untuk kami berdua sebagai sahabat itu untuk pembeda diantara panggilan yang lain.
“Ah? abis dari perpus. Ng- yaudah ke kantin yuk.” Dengan bertemunya Selvi, aku bisa sedikit melupakan kejadian tadi.
“Woy mpok, ngelamun aje lo! Denger nggak yang gue omongin tadi?” aku tersentak kaget merasakan bahu yang dipukul keras oleh Selvi.
“Ih! Biasa aja dong, kaget tau. Iya iya denger, ngomongin selebgram (selebrtitis instagram) Ari Irham itu kan?” mengusap-usap bahu yang dipukul Selvi.
 Tepuk jidat “Ya Allah mpoook! Gue ga lagi ngomongin itu. Oke, sekarang lo ada masalah apa?”
“Ng-ngga ada masalah ko, Cuma lagi ga fokus aja.” Mpok ga boleh tau soal ini.. mengenai laki-laki aneh itu.
Tiba-tiba laki-laki itu datang dan berkumpul bersama teman-temannya.  “Ah.. ngapain sih dia disinii.”
Keberadaannya membuatku jadi salah tingkah dan bingung harus berbuat apa.
 “Siapa? Tio?” Selvi bertanya spontan sambil menyeruput es teh manis.
 “Eh, bukan siapa-siapa. Tapi bentar, siapa namanya? Tio?”
“Iya  Tio, yang rambut ikal ga beraturan itukan? Diakan temen satu sekolah gue di SMP. Orangnya pinter banget. Jago eksaknya, pokoknya dia pinter banget ga ada yang nandingin deeh tapi sayang banget penampilannya ga menarik.” Memajukan bibir, ekspresi Selvi bagai mendapatkan kenyataan pahit.
“Oh, gitu. Yaudah aku cabut duluan yaa. Ada latihan paskibra dadakan sekarang. Daaahh..” buru-buru mengakhiri pembicaraan yang tidak penting ini.
Menjelang hari perlombaan, pasukan paskibra kami menambah jadwal latihan usai istirahat. Latihan sudah semakin  mantap dan begitu yakin, tidak ada satu kesalahan dalam gerakan kami. Kang Adjie terlihat tersenyum bangga atas latihan kami. Latihan paskibra telah usai, seperti biasa aku merebahkan diri dipinggir lapangan tepat di bawah pohon ceri. Wajah merah bak ayam goreng yang baru diangkat dari penggorengan. Aku tersentak kaget dan langsung terduduk ketika seseorang menempelkan botol air mineral dingin di pipiku.
“Nih, Minum!” menaruh botol air mineral di sampingku lalu pergi begitu saja.
“T-tunggu!” memanggil begitu saja tanpa memikirkan apa yang harus aku katakan saat dia menoleh Bodoh! Harusnya aku biarkan saja ia pergi. Merapikan rambut lalu bersiap untuk memulai percakapan.
“Maaf, waktu saya ga banyak. Ada apa?” Menunjukkan jam tangan yang melingkar dipergelangan tangan kirinya.
Ergh! Sok sibuk banget sih ini cowok, tau gitu males banget aku panggil. Memajukan bibir dan berkomat-kamit.
“Kok, diem? Saya sudah bilaang...” Mengetuk-ngetuk jam tangan dengan jari telunjuknya.
Memotong pembicaraan “Maksudnya apa ini?” menunjukkan botol air mineral dingin yang aku pegang.
“Waktu saya ga banyak, Oh itu. Tadi temen saya nitip air mineral ternyata dia udah beli, terus pas saya mau ke toilet saya liat kamu lagi tidur di lapangan, mungkin kamu lebih membutuhkan air mineral ini. Yasudah saya kasih ke kamu.” Melirik jam.
APA??!! Ternyata dia ga niat dari awal buat kasih minum ini? Eh, bentar tidur di lapangan? Wanita macam apa aku ini, sembarangan tidur aku ga tidur! Aku Cuma rebahan. Memang kau pikir aku tuna wisma? Meremas jemari, sabar Aini! Sabar! Suara hatiku berteriak menyemangati. Namun, bukan kata-kata pedas yang aku lontarkan kepadanya yang keluar malah “Oh begitu, terima kasih.” Berusaha senyum, berharap ia tidak menyadari bahwa itu senyuman palsu yang dipaksakan. Tidak ada ucapan selamat tinggal, ia pergi begitu saja. Mengapa aku sekesal ini? Jelaslah! Ia datang memberikan air mineral dingin tanpa alasan, setelah aku tau alasannya. Aku malah makin kesal, ternyata memang tidak ada niat khusus untuk memberi air mineral ini. Yasudahlah, mungkin dengan minum rasa kesalku hilang.
Jam pelajaran keempat, kimia. Bu Riska tidak masuk karena sedang sakit. Kabar mengenai guru tidak masuk sontak membuat ramai kelas. Tak peduli, alasan apa yang membuat guru tidak masuk,  yang penting tidak ada kegiatan belajar mengajar selama 2 jam kedepan. Bahagia tak terkira, aku merasakan euforia bak sedang mengikuti karnaval tahunan sekolah. Aku memperhatikan sekitar, tak ada yang memasang wajah suram karena ketidak hadiran guru. Firman orang terpintar di kelas, ia juga memasang wajah bahagia, mungkin ada waktu 2 jam dalam seharinya bisa terbebas dari buku-buku pelajaran. Aku yang sejatinya sama seperti mereka amat bahagia mendengar kabar itu, namun aku menyadari ketertinggalan materi pelajaran, bukan hanya kimia saja namun keseluruhan pelajaran karena fokus dengan latihan paskibra selama sebulan ini, akhirnya aku memutuskan untuk ke perpustakaan membaca buku-buku, Selvi tidak ikut karena sedang asyik selfie untuk stock Display Picture di bbm atau posting di akun instagram.
Halaman demi halaman sudah kubaca dan kupahami kertas penuh dengan coretan-coretan rumus untuk mencari jawaban, namun tetap saja jika mengerjakan soal-soal tidak mudah untuk di selesaikan.
“Lagi ngerjain apa?” seseorang duduk disampingku.
Aku menoleh, aku tidak menyadari keberadaannya sudah berapa lama dia disitu. Apa dia memperhatikan ekspresi kesulitanku dalam menyelesaikan soal-soal ini? “Ini lagi ngerjain soal kimia.” Menunjuk soal yang aku kerjakan.
“Oh ini? Ini sih gampang. Sini biar aku bantu.” Mengambil buku dan pulpen dari tanganku tanpa permisi.
Ergh.. sombong banget sih. Siapa pula yang mau minta diajari sama orang sombong! Seketika kesal melanda dijiwaku.
“Aini! Kamu merhatiin ngga?”
“I-iya merhatiin ko, oia bentar ko kamu tau nama aku?”
“itu..” menunjuk nametag bertuliskan AINI yang terpasang dibaju seragamku.
Argh! Bodoh banget sih, Ni. Mukaku memerah ingin sekali rasanya tiba-tiba menghilang dari dunia ini.
“Saya, Tio. Kamu kalau kesulitan apa-apa saya bisa bantu kamu. Sama seperti sekarang, saya bisa bantu menyelesaikan soal-soal kimia semudah ini.” Melirik jam, lalu pergi begitu saja seperti biasa tanpa pamit.
Eeerrrgh... sombong banget sih! Mengacak-acak rambut.
Bel pulangpun berbunyi, saatnya aku dan siswa yang lain bersiap untuk pulang. Terdengar suara motor dari arah belakang, lalu berhenti disampingku.
“Mau bareng?”
Aku melirik acuh “Ga, makasih.”
“Yakin? Saya orang sibuk loh, nanti kalau....
“EMANG SAYA PEDULI!!... buru-buru aku menutup mulut merasa apa yang aku ucapkan barusan sangat menyakiti hati Tio lantas aku berlari menjauh. Astaga! Apa yang telah aku ucapkan barusan? Menunduk dan Duduk di salah satu kursi sambil menunggu angkutan umum.
Motor Tio pun terdengar, aku langsung berdiri gugup dengan rasa bersalah. Bersiap dengan apa yang terjadi. Motor Tio lewat begitu saja, tidak ada ekspresi apapun dibalik helm berkaca putih, hanya tatapan lurus nan dingin. Ekspresi Tio selama ini memang tidakku mengerti, namun ekspresi kali ini aku begitu yakin betapa kecewanya Tio terhadap kalimat apa yang aku lontarkan barusan. Namun aku keliru, motor Tio berbalik arah dan berhenti tepat didepanku.
“Ayo, naik!” tatapan tetap lurus kedepan tanpa menoleh sedikitpun. Aku bingung harus menolak atau menurut. Mungkin dengan cara aku menuruti, aku bisa menghilangkan sedikit rasa kecewa Tio.
“Duduknya terserah, mau miring/ke depan. Ayo, buruan! Waktu saya ga banyak!” seperti membaca pikiranku yang sedikit bingung untuk posisi duduk. Aku sudah duduk tepat di jok belakang, motor Tio langsung melesat dijalanan dengan kecepatan penuh, jalanan tidak terlalu ramai membuat motor Tio lincah menyelusuri jalan. Sesaat, aku lupa tidak bertanya arah tujuan. Ingin bertanya namun urung, Tio mengendarai motor dengan kecepatan penuh membuat suara bising dari knalpot motor. Jalanan mulai sepi, jantungku mulai berdegup kencang mulai berpikir akan ada sesuatu yang mengancam diriku. Aku sudah bersiap untuk berteriak sekuat tenaga, jika sewaktu-waktu Tio ingin menjahiliku. motor Tio berhenti di depan taman yang sangat indah, taman ini terlihat sepi namun aku tidak khawatir karena taman ini tepat ditengah-tengah kawasan peerumahan elit, jadi pasti banyak pengamanan seperti satpam, atau cctv disetiap lokasi. Membuat aku sedikit bernafas lega.
Tio memulai bicara “Saya suka kamu.”
Aku  menoleh kaget, membuat sekujur tubuhku kaku tidak bisa digerakan sedikitpun.
“aku mau pulang.” Jawaban spontan yang keluar dari bibirku untuk melupakan apa yang Tio katakan.
“tapi, kitakan baru sam...”
“pokoknya aku mau pulang!  Kalau kamu ga mau pulang, yasudah saya bisa sendiri.” Membentak. Kali ini, aku benar-benar kesal dan marah dengan perkataan Tio barusan.
“Eh.. tunggu! Iya sebentar saya nyalain motor dulu.”
Esoknya dikantin. Aku nampak tidak semangat, ucapan Tio masih terngiang-ngiang dikepalaku. Apa yang harus aku katakan? Mengapa aku marah padanya? Hmmm..
“Lo kenapa, mpok?” Selvi mengaburkan lamunanku.
“Ng-Ngga apa-apa.” Cepat-cepat menghabiskan bakso yang sudah dingin.
“Hm? Cerita!” Selvi mendesak. Dia tidak ingin sahabat sejatinya memiliki masalah.
Swear! Ngga ada apa-apa!” aku tetap tidak menginginkan Selvi mengetahui apa yang aku alami.
“Oh- jadi gitu sekarang sama gue? Main rahasia-rahasiaan ya? Ga asyik lo sekarang, Ni!” beranjak dari tepat duduknya dan mulai melangkah pergi.
Aku mencegahnya dengan menarik lengan kanan Selvi “Eh... ga gitu!”
“kalau ga gitu, terus apa?” melepaskan pegangan tanganku.
“I-iya, tapi mpok jangan marah dong.” Berusaha kembali menarik lengan Selvi, dan berusaha mencairkan suasana.
“yaudah, lu kenapa? Gue nanya gini karna gue care sama lu, mpok.” Kembali duduk. Sejatinya Selvi memang tidak betul-betul marah, dia hanya ingin aku bersikap terbuka dengan masalah yang aku alami.
“Hmm.. anu...ng.. T-t.. “ aku berusaha santai untuk menjelaskannya, namun tetap saja aku merasa kaku dan bingung harus mulai dari mana.
“T?” mengulang omonganku tanda menunggu kata selanjutnya.
“Eng.. eh .. maksudnya T... I..” aku menarik nafas dalam-dalam agar lebih rileks saat menjelaskan kepada Selvi.
“T.. I.. terus? Lu ngomong yang bener dong, mpok! Kayak gue lagi ngajar baca anak PAUD.” Selvi merasa gemas dengan omonganku yang terbata-bata ini.
“TIO NEMBAK GUEE!” aku menutup mata bersiap dengan segala reaksi dari Selvi yang mungkin bisa saja mencubit pipiku atas apa yang aku katakan barusan.
“Whaaaaaaat?!! Serius lu, mpok? T-I-O yang dulu pernah gue ceritain itu? Gue ga salah dengeer?” Namun tebakanku salah, mungkin sangking kagetnya Selvi bingung harus bereaksi apa. Jadi dia hanya sedikit meninggikan suaranya.
“Hmm..” aku hanya mengangguk tanda “iya” atas pertanyaan Selvi.
“Astagaa!! T-I-O?” mengulangi pertanyaan, untuk meyakinkan kebenarannya. Mungkin dikhawatirkan Selvi salah dengar.
“udah jangan kenceng-kenceng, nanti yang lain denger!” berusaha menenangkan Selvi yang bisa saja meledak seperti bom karena sangking kagetnya.
Sorry.. keceplosan. Kaget gue, Ni. Ko bisa?” aku menceritakan kejadian yang sebenarnya dari awal sampai akhir mengenai TIO, Selvi bener-bener kaget setengah matang. Ekspresi Selvi bener-bener mengerikan mata sipit yang mendadak bundar seperti ingin copot dari tempat asalnya, kalau aku foto dan dimasukin ke Instagram pasti dia juga gabakalan nyadar. Sebegitu kagetnya kah selvi dengan kabar Tio menyatakan perasaannya ke aku?
“Gue harap lo ga balik suka sama dia.” Tatapan menyelidik.
“Loh? Memangnya?” balik menyelidik.
“Memangnya? Ooh jadi loe beneran suka sama T...” kembali meninggikan suara khasnya.
“pssssst.... jangan keras-keras! Gak! aku ga suka sama dia! Mpok taukan, selera cowok aku gimana? Ga seperti Tio” membalas dengan muka sebal.
“hmm.. bagus! Berarti loe masih normal.” Melipatkan tangan.
Ternyata Tio lewat dengan tatapan acuh.
“T-Tio??” ucapku, kaget. Apa Tio mendengar kalimat yang aku katakan? Oh Tuhan!! Menepuk jidat.
So What? Lo kan ga suka sama dia. Ya biarin aja, biar ga ngarep terlalu tinggi. Loe tuh cantik banget masa dapet cowok model Tio? Helllowww..” mengibaskan rambutnya.
Buru-buru aku pergi mencari Tio dan meninggalkan Selvi yang berteriak-teriak karena ditinggal membuat orang-orang disekitar merasa terganggu.
Dari arah jauh, aku melihat Tio bersama teman-temannya. Aku melihat Tio melirik ku dengan tatapan dingin. Tidak ada senyuman yang menghiasi rawut wajahnya. Setelah kejadian di kantin barusan, Tio jadi menghindar dari ku. Setiap berjalan dari arah berlawanan Tio selalu menyadari keberadaanku dan dia langsung memutar arah untuk menghindari kontak mata denganku. Sungguh, aku tidak menyukai hal ini. Tio memang tidak tampan, tapi dia berbeda ntah apa yang berbeda, aku bingung dan aku belum menemukan jawabannya.
Kali ini, aku berusaha mencari Tio di perpustakaan, kantin, kelas. Tapi aku tidak menemukannya, dimana dia? Ketika aku berjalan kembali ke kelas, aku mendapati dirinya di taman. baru saja aku ingin mendekatinya namun urung, Tio tengah bersama seorang wanita kelas X aku melihat badge nya. Segera aku berbalik, tidak mau berlama-lama di tempat itu. Air mata yang sejak tadi ditahan kini menetes ke pipi, membuat wajahku terasa panas. Mataku berkabut, tertutup lapisan bening dari air mata yang terus-menerus berkumpul dikelopak mataku. Apa mungkin aku menyukainya?

Kamis, 19 Januari 2017

HIDUP SEHAT

Hidup sehat berawal dari lingkungan yang sehat, masyarakat yang sehat, dan keluarga yang sehat.
Untuk itu jagalah kesehatan mulai sekarang. Ada slogan yang mengatakan bahwa sehat itu mahal harganya.
Mulailah mengonsumsi makanan yang bergizi kaya akan vitamin seperti sayur dan buah-buahan.